Qola Ismail atau Kala Ismail : Aku menggunakan kata ini karena aku berpikir hidupku seperti seorang Nabi bernama Isnail,. Sebuah perjalanan hidup, dimana aku harus memilih kebebasan ku atau ikut dalam ketaatan ku bersama orang tua ku. Lalu ternyata aku adalah Ismail yang akan mengikuti harapan orang tua ku namun tetap berharap seperti masa dimana Ismail terus berharap saat itu ada keajaiban dari tuhan untuk membebaskan dia. Dan untuk ku adalah kebebasan dari PENYIMPANGAN ini.

Saat itu aku berpikir ; hidupku kurang dari satu tahun lagi


Tulisan ini aku buat karena seseorang mengingatkan ku bahwa sepertinya tidak akan sempurna sebuah hubungan kalau ada yang masih ditutupi.



Rasanya terlalu sempurna hidupku jika tidak memberitahu tentang hal-hal buruk dalam hidup ini. Terlebih aku yang merupakan seorang pria bayaran atau money boy dan hal gilanya adalah nafsu yang besar yang aku miliki. Maka mungkin benar jika pada akhirnya aku mencapai pada sebuah titik ini dimana saya dinyatakan postif HIV.







               Semenjak SMA aku sudah melakukan hubungan seksual dengan pria, jadi rasanya ini adalah balasan dari kegilaan itu. Rasa tidak ingin percaya bahwa aku positif HIV, aku menyalakan diriku karena pernah bekerja di tempat kesehatan atau alasan lain adalah karena aku memakai body art (Tato) pada tubuh ku. Aku terus menyalakan hal-hal seperti itu sebagai alasan, lalu karena rasa tidak puas aku memperbanyak bacaan tentang HIV. Ternyata apa yang aku pikirkan tentang body art atau pekerjaan ku yang beresiko di tempat kesehatan itu tidak mungkin menjadi alasan aku terkena HIV. Lalu yang benar adalah aku tidak menjaga diriku dengan baik saat berhubungan seksual. Aku orang yang paling tidak nyaman menggunakan kondom, selain karena ukuran kemaluan yang tidak terlalu besar. Lalu hal lainnya adalah karena aku tidak bisa menikmati hangatnya didalam lobang itu jika menggunakan kodom. Semua itu menjadi kesalahan ku yang terlalu terbawah nafsu, namun hidup terus berjalan dan aku harus dapat terus bangkit dari permasalahan ini.


Beginilah kejadian hari itu,


Sepertinya satu tahun lebih yang lalu aku panik karena aku menyadari celana dalam ku terdapat bekas nanah mengering. Mulanya aku berpikir itu sperma yang mengering, karena memang tidak ada tanda-tanda sakit ketika aku buang air kecil. Namun dua hari berlalu hal itu terus berlangsung, aku terus mendapati celana dalam ku terdapat nanah. Aku berpikir saat itu mungkin ini karena aku beberapa waktu lalu terlalu sering masturbasi dan memaksakan diri dalam satu hari itu. Setelah berpisah dengan Angga, aku tidak pernah berniat menjalani hubungan serius bersama pria. Aku yang telah dapat bangkit sendiri membiayai kuliah dan hidup ku di Jogja merasa tidak perlu ada alasan aku mencari pasangan lagi. Terlebih, pengalaman terakhir bersama Angga membuat diri ku takut untuk menyakiti diriku sendiri dengan berada dalam resiko atau menyakiti orang lain karena rasa kecewa terhadap ku. Aku terus berjalan dengan kehidupan ku, beberapa orang hadir untuk saling melepas nafsu atau terkadang menggunakan hati tapi akhirnya kami tidak bisa memutuskan bersama.

Hari kedua setelah mengetahui hal itu aku pergi ke apotek untuk membeli obat antibiotik, karena aku pikir itu hanya luka biasa. Sebelumnya aku telah membaca-baca beberapa artikel tentang kencing nanah, yang aku pikir itu adalah apa yang sedang terjadi pada ku. Tapi ternyata saat di apotek, aku tidak bisa membeli obat itu karena tidak di jual bebas. Merasa tidak mengalami sakit apa pun, aku berpikir untuk membiarkannya hingga mungkin akan sembuh sendiri luka di dalam itu. Tapi hampir satu minggu aku baru merasakan efeknya, setiap akan buang air kecil ada rasa pedih di kemaluan ku. Pada beberapa hari itu aku tetap memiliki hawa nafsu yang besar, aku melakukan masturbasi namun saat ereksi kemaluan ku terasa tertarik. Esok harinya aku memutuskan untuk ke pelayanan kesehatan, karena dari artikel yang aku baca jika sudah terasa nyeri hal itu akan membuat kemaluanku tidak bisa bangun lagi. Tanpa pengetahuan apa pun tentang HIV aku bertemu dokter dan memberi tahu keluhan ku itu padanya, reaksi dokter itu seperti menghakimi ku.

Dokter itu berkata, “sudah berapa lama masnya merasakan hal ini?”

“Baru kemarin dok saya merasa nyeri, tapi kalau nanahnya sudah dari beberapa hari yang lalu.” Jawab ku karena tidak memikirkan hal terburuk lainnya.

“Saya butuh hasil tes dari sempel nanahnya, mas nanti ke bagian Labor.” Dokter itu memandang ke arah ku.

Sambil menulis surat rujukan ke Labor dia bertanya kembali, “mas bukan asli Jogja ya? Disini dengan siapa dan di Jogja dalam rangka apa?”

“Saya seorang mahasiswa dok, saya juga sambil bekerja di Jogja. Saya tinggal sendiri disini.” Sambil mengambil surat rujukan dari dia.



Setelah hasil Labor keluar, saya kembali lagi ke ruangan dokter tersebut namun ternyata alat di tempat itu masih tidak terlalu baik untuk dapat memastikan aku terkena penyakit apa.

“Dari hasil tes mas, masnya terkena penyakit kencing nanah atau gonore. Itu akibat bakteri, sebelum nya mas punya pacar.” Dokter itu mulai menatap lagi.


Karena takut di intimidasi, aku bilang kalau aku memiliki seorang pacar namun dia bertanya balik. Wanita atau pria pasangan ku, hal itu membuat aku makin terpojok dan akhirnya aku berbohong bahwa itu adalah seorang wanita.

Dokter itu berkata, “hasil tes ini belum baik, kami akan memberikan mas surat rujukan ke tempat lain. Karena kita tidak tahu resiko terburuk apa yang akan terjadi, bisa jadi mas terkena HIV.”

Raut wajah takut dan tertunduk saat itu yang nampak ku lakukan, dokter itu pun menambahkan. “Besok saat tes, sebaiknya pacar mas juga dibawah agar kita tahu apa yang sebenarnya terjadi. Akan lebih baik jika dapat di cegah dari awal.”



Dokter pun memberikan ku surat rujukan dan obat antibiotik untuk masalah kemaluan ku. Hari itu aku sangat ketakutan jika sampai apa yang di bilang dokter itu tentang HIV adalah benar. Karena jika benar, dalam pikiran ku saat itu adalah umur ku tidak sampai satu tahun lagi dan rencana hidup ku tentang keluarga akan berantakan. Bayangan-banyangan bahwa kemaluan ku akan membusuk dan aku akan lemah lalu mati menjadi kan diriku begitu takut. Aku mulai membaca kembali beberapa artikel terkait HIV dan Aids, namun entah kenapa artikel yang terbaca selalu masalah Aids yang mengerikan. Karena kesibukan ku dengan kuliah dan kerja membuat ku mengulur-ulur waktu tes itu. Namun karena takut berakibat lebih buruk akhirnya satu hari aku bolos kuliah dan meminjam motor temanku. Aku yang sangat takut dan penasaran memberanikan diriku pergi ke pusat pelayanan kesehatan itu. Saat bertemu dokter dan dia membaca surat rujukan itu, aku mendapatkan intimidasi lagi dari pertanyaan yang hampir sama.


Dokter itu berkata, “terakhir hubungan seks kapan mas? Dengan pacar?”

Aku yang ragu-ragu mencoba menjawab, “sudah lama sekali dok.”

“Baiklah, kita coba uji laboratorium dulu ya. Untuk memastikan apakah yang mas alami ini hanya kencing nanah atau hal lainnya.” Nada lembut itu tetap tidak membuat ku nyaman.

2 jam lebih aku menunggu hasil Labor, hingga aku kembali masuk ke ruang tunggu dan mendapatkan nama ku di panggil oleh dokter itu. Dengan ramah dia menyuruh duduk, pintu di tutupnya rapat tidak seperti sebelumnya lalu dia berkata.

“Apapun hasilnya nanti mas Kala harus tetap kuat, kita yakin ini bisa diperbaiki walaupun untuk sembuh kami belum bisa menjanjikan.” Dokter itu mengeluarkan hasil Labor, jantungku mulai berdetak tidak teratur karena cemas dengan kemungkinan terburuk adalah HIV.

“Dari hasil Labor ini, mas Kala positif HIV. Beberapa hasil menunjukkan kalau semuanya reaktif terhadap sempel.” Suara dokter itu seperti menghilang dari pendengaran ku.

Tubuhku lemas karena apa yang aku pikirkan sebelumnya bahwa aku akan mati, tidak memiliki kesempatan memiliki seorang anak atau tidak akan dapat mencapai cita-cita ku bercampur aduk dalam hayalanku. Air mata perlahan turun sendiri karena merasa menyalakan diri sendiri, sesaat setelah itu kepala ku menunduk hingga keatas meja.

Lalu dokter berkata, “mas kala jangan sedih! Saat ini ada obat yang akan membantu masnya. Mas tinggal dengan siapa di Jogja?”

“Saya tinggal sendiri dok, saya ngekos di sini.” Dengan sisa harapan saya mencoba menjawab.

“ini ada obat yang harus mas minum sekarang, nanti saya butuh beberapa data dari masnya yang harus di isi. Pacar mas kala tinggal di Jogja? Tidak sekalian diajak untuk tes?” aku yang takut dan bingung terus berbohong.

Setelah meminum obat yang di berikan saat itu juga di depan dokter, aku merasa sangat khawatir dengan diri ku. Dokter itu mulai menanyakan banyak pertanyaan pada ku, dari pacar ku apakah wanita atau pria, apakah aku berhubungan seks juga melalui anal, apakah aku sering gonta-ganti pasangan, semua pertanyaan dari dokter itu aku jawab ragu dan banyak tidak benar.



Melihat aku yang lesu seperti orang tidak memiliki harapan hidup, dokter itu memberikan nomor telepon seseorang yang menurutnya itu akan membantu ku.

“Coba hubungi wanita ini, dia dari asosiasi yang memberikan dukungan dan bantuan pada penderita seperti masnya. Dan ini saya beri rujukan ke rumah sakit untuk mengambil obat dan konsultasi lebih lanjut dengan dokter yang khusus menangani hal ini.” Dokter itu membantu ku berdiri dan mengantar kan ku keluar ruangan.

Hari itu sangat kacau bagi ku, aku yang seharusnya segera pulang karena teman ku akan menggunakan motornya terpaksa mampir lama di sebuah masjid. Aku sangat ketakutan, aku sholat dan menangis di dalam masjid itu seakan aku merasa hidupku sudah berakhir.


Dalam do’a aku berkata, “apa yang salah tuhan? saat aku berpikir semuanya mulai membaik bagi ku, kenapa aku harus merasa ini percuma. Aku hanya ingin menyelesaikan kuliah ku, aku ingin menjadi orang yang lebih baik bagi keluarga ku. Aku ingin dapat menjadi alasan mereka untuk bersyukur kepada mu bahwa aku bisa menyelesaikan kuliah ku tanpa bantuan mereka. Aku hanya ingin bahagia! Lalu tentang perasaan ku kepada pria, apakah itu salah ku karena menyukai mereka? Apakah ini menjadi cara untuk menghukum ku dari perasaan ini?”


Aku menjadi orang paling menyalahkan tuhan ku saat itu, tanpa sedikit pun menyadari bahwa aku berperan banyak pada apa yang aku rasakan saat ini. Aku bukanlah seorang yang sangat taat beragama, sering dalam lima waktu sholat ku tidak perna terpenuh. Aku pun dari dulu tidak bisa membaca kitab suci agama ku dengan baik, aku terlalu sibuk dengan urusan dunia ku. Aku yang sibuk kerja, kuliah dan terus memuaskan hawa nafsu ku membuat diriku sampai pada saat ini. Tidak ada yang banyak aku miliki dalam hidup ini kecuali diriku sendiri, aku terus merasa bingung hari itu dan akhirnya pulang.

Hingga beberapa hari setelah mengetahui aku positif terkena HIV, aku masih belum berani menghubungi wanita yang disarankan oleh dokter. Hari ku terus dalam penyesalan tanpa batas, aku tidak memiliki cara dan harapan untuk hidup saat itu. Hal bodoh terpikir dalam hidupku, aku berpikir semua sudah berakhir dan tidak perlu ada perbaikan apa pun dalam hidup ku. Aku terus berpikir, jika akhirnya harus mati di kota ini maka itu adalah jalannya. Tidak mungkin dapat aku terus menutupi apa yang terjadi pada diri ku, aku berpikir mungkin ini cara tuhan memberi tahu orang-orang terdekatku. Dengan mati karena sebuah penyakit yang aku buat akibat dari pergaulan ku dan hal konyol lainnya adalah akhirnya keluarga tahu aku menyimpang.

Cukup lama aku menahan diriku, hingga hari itu aku berada dalam sebuah mata kuliah keagamaan. Dosen itu membahas tentang pernikahan, lalu dia menawarkan isu kepada mahasiswa tentang hubungan sesame jenis. Semua orang melontarkan pendapatnya, anak-anak muda itu benar-benar membuatku takut dalam kematian. Bagaimana bisa aku matipun akan mendapatkan hujatan dan cacian hingga membuat keluargaku terluka akibat prilaku. Pikiran ku kacau ketika mengingat mama, aku yang terus bertahan sampai saat ini dalam keraguan tentang keluar atau bertahan dalam persembunyian, semua alasan itu karena orang tua ku yang tidak ingin aku sakiti.

Setelah mata kuliah selesai, aku pulang ke kos dan terus dalam lamunan yang panjang dengan penyakitku. Lalu aku beranikan untuk mengechat wanita itu, untungnya dia merespon sangat cepat hingga tidak sempat keraguan datang kembali. Aku menceritakan tentang diriku dan bagaimana aku mendapatkan nomornya namun dengan wanita ini pun aku masih tidak bisa jujur dengan penyimpangan ku. Akhirnya dia menyarankan aku untuk segera kedokter dan mendapatkan terapi obat, hal itu demi kebaikan diriku katanya. Kami pun membuat janji bertemu di rumah sakit, aku bolos kuliah lagi untuk ke sana karena pilihannya hanya dua. Aku tinggalkan pekerjaan hari itu atau tinggal kuliah untuk dapat bertemu dengan dokter karena antrian yang panjang.






Kami pun bertemu, wanita itu masih muda dan berhijab serta cantic untuk seorang wanita. Dia memperkenalkan dirinya dan dari mana dia bekerja, dia mencoba meyakinkan ku untuk tidak takut akan apapun.

“Saya sama dengan masnya, saya juga seorang yang terkena HIV. Dalam kelompok kami, ini disebut teman sebaya dan saya harap masnya bisa banyak bercerita kepada saya.” Wanita itu duduk bersama ku dalam antrian.

Aku coba menceritakan beberapa hal padanya, tapi tidak semuanya bisa aku ceritakan pada wanita itu. Aku masih saja takut, aku  menutupi jati diriku yang merupakan seorang gay dan berpura-pura terlihat normal didepannya. Akhirnya kami masuk kedalam, dia menemaniku di dalam saat bertemu dengan dokter. Dia sangat membantuku, saat itu aku bingung akan memutuskan untuk mulai meminum obat terapi berupa ARV. Dokter pun memberikan saja rujukan ke labor untuk mengecek CD4 saya, dan memastikan apakah sudah tepat jika saya mengkonsumsi obat itu.

mas jangan takut, dari hasil tes nanti kita bisa melihat apakah mas sudah parah atau tidak.” Wanita itu mengikutiku ke labor.

Wanita ini dengan sabar menemaniku satu hari penuh di rumah sakit, setelah hari berikutnya hasil tes keluar kami pun membuat janji untuk bertemu lagi.

Hasil tes pun keluar, CD4 ku hanya mencapai 480 yang menurut dokter aku harus memulai pengobatan ARV. Wanita itu terus memberikan masukan-masukan dalam pengalamannya, dia membuat ku meyakini bahwa semua ini akan baik-baik saja. Tapi pertemuan kedua itu dia membawa seseorang teman bersamanya, temannya itu seorang pria dengan wajah asianya.

“kenalkan mas Kala, ini teman saya yang juga seperti kita. Kebetulan dia lagi cek up juga hari ini dan tadi dia mengechat saya untuk bertemu.” Senyum wanita itu membuat ku sangat takut, sebuah ketakutan jika sebenarnya dia tahu aku menyimpang.

Aku menjabat tangan pria itu, “saya Kala mas.”

Pria itu memiliki tangan yang sangat halus dengan wajah lembut, sempat terpikir jika pria itu adalah seorang gay. Tapi aku tidak ingin membuat mereka tahu tentang diriku, aku merasa malu dengan diriku jika sampai mereka tahu aku terkena infeksi karena seorang gay. Hal buruk lain juga terpikir, aku tidak ingin mereka mencari tahu tentang ku dan menyadari bahwa aku perna menjadi seorang pria bayaran.

Begitulah pertemuan ku dengan wanita itu, lalu setelah aku memutuskan melakukan terapi ARV kami hanya berkomunikasi melalui chat. Tidak perna berani lagi aku bertemu dengan wanita itu, aku yang memiliki akun IG dan FB nya terus mengikuti kegiatan wanita itu bersama instansinya.




Pengalaman ku bersama ARV


Hari pertama aku memutuskan meminum obat itu begitu banyak reaksi dalam tubuh ku. Aku sering mimpi buruk, tubuhku sering sangat Lelah saat bangun pagi, namun di bulan-bulan pertama asma ku tidak kambuh. Aku yang biasanya harus meminum obat salbutamol sebelum tidur, beberapa bulan itu tidak memerlukan hal itu. Kebiasaan ku mengkonsumsi obat itu sebelum tidur karena jika tidak minum obat asma, maka pagi hari aku akan merasa sesak napas. ARV pun terus aku konsumsi, hingga bulan ke enam saat cek CD4 yang kedua aku sempat terlambat dalam mengambil obat bulanan itu. Pekerjaan dan kuliah selamu menjadi alasan, aku tidak bisa terlalu sering bolos kuliah dan tidak mungkin tidak masuk kerja.

Kesempatan tes pun datang, namun hasil tes kali ini tidak memberikan perubahan yang berarti karena CD4 ku masih di bawah 500.

Dokter berkata, “bulan ini cukup lama mengambil obat ya mas? Rutinkan minum obatnya?”

“rutin dok, tapi memang bulan ini saya tidak bisa menemukan waktu yang tepat untuk ke sini.” Saya mencoba meyakinkan dokter itu.

“ada teman yang mengingatkan mas Kala untuk minum obat? Bagaimana kesehatan mas Kala?” sambil membaca hasil tes.

Aku mencoba jujur dengan dokter itu, “Kesehatan saya baik dok, beberapa bulan ini saya sudah tidak minum obat asma saya saat mau tidur. Biasanya kalua tidak minum obat itu saya akan sesak napas, untuk masalah minum obatkan saya hanya mengingatnya sebelum tidur pasti minum. Tapi memang kalua bangun tidur saya merasa sangat Lelah sekali ya dok.”

“baik dong kalau begitu mas, jadi asma mu sudah mulai berkurang?” dia bertanya kembali

“iya dok!” saya mengangguk


Tapi hal itu tidak bertahan lama, sempat suatu hari aku bangun tidur dan mendapati diriku begitu sesak napas. Akhirnya sampai saat ini, baik ARV atau pun sabutamol aku minum sebelum tidur agar tidak merasa tersiksa.


“ini resep obat untuk bulan ini. Minum yang teratur ya mas agar CD4 nya segera membaik dan masnya juga bisa lebih sehat lagi.” Dokter memberikan resep obat dan aku pun pulang.

Aku pun terus dalam terapi obat itu dan sudah cukup lam aku tidak berkomunikasi dengan wanita dari asosiasi itu. Aku  mencoba menjalani hidupku sendiri, namun yang tidak bisa aku bohongi adalah aku tetap tidak bisa berhenti dengan berhubungan bersama pria. Kesalahan membuat ku belajar cukup banyak, tapi bukan berarti aku dapat menghilangkannya. Aku mencoba mengurangi hubungan ku dengan sosial media aktif yang terlalu bebas. Namun dalam proses menjauhi diri dari orang-orang yang memikirkan kesenangan saja, aku tetap tidak bisa menemukan orang yang tepat untuk berhubungan serius dalam sebuah ikatan.


Aku terus berpikir tentang bagaimana tuhan membuat jalan dalam hidupku.


Lalu pada bulan ke enam berikutnya datang aku mencoba menanyakan pada dokter tentang rujukan untuk cek CD4 kembali. Tapi sayang sekali, dari dokter saya mendapatkan jawaban tidak baik karena darinya aku mengetahui bahwa aku ataupun para penderita HIV tidak dapat melakukan tes CD4 dalam waktu yang cukup lama. Saya tidak mendapatkan alasan yang tepat dari dokter itu, tapi dia hanya menunjukan pesan singkat yang ada di hp yang berisi pemberitahuan tentang cek CD4. Saya tidak mengerti apa yang terjadi, lalu dalam empat bulan setelah kejadian itu aku tidak perna mengetahui lagi bagaimana pencapaian kesehatan ku. Aku hanya terus mengkonsumsi obat ku dengan teratur agar dapat bertahan hidup atau hal paling baik adalah sembuh dari penyakit ini.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts