Qola Ismail atau Kala Ismail : Aku menggunakan kata ini karena aku berpikir hidupku seperti seorang Nabi bernama Isnail,. Sebuah perjalanan hidup, dimana aku harus memilih kebebasan ku atau ikut dalam ketaatan ku bersama orang tua ku. Lalu ternyata aku adalah Ismail yang akan mengikuti harapan orang tua ku namun tetap berharap seperti masa dimana Ismail terus berharap saat itu ada keajaiban dari tuhan untuk membebaskan dia. Dan untuk ku adalah kebebasan dari PENYIMPANGAN ini.

Pelatihan perajurit dari Rino dan teman SD

     Masa Sekolah Dasar menghantarkan saya setidaknya menjadi pria walau pun tidak seutuhnya. Dalam kelas saya terdapat 28 siswa, dimana hanya ada enam orang siswa laki-laki yang mengisi kelas itu. Salah satunya adalah Rino, dia memiliki tubuh besar dan perawakan kasar. Rino adalah siswa yang seharusnya sudah duduk di bangku kelas tiga sewaktu kami masih berada di kelas satu sekolah dasar. Rino anak dari keluarga tidak mampu, dia berhenti sekolah ketika itu karena kendala biaya lalu mendaftar sekolah kembali setelah program bantuan pendidikan mulai gencar. Berbanding terbalik dengan saya, seorang anak kecil dengan kulit putih, mata sipit namun hidung besar keturunan dari ayah saya layaknya orang Chinese. Dengan tampilan seperti itu bagi Rino saya sasaran yang empuk untuk di palak dan dimainkan. Kelas satu saya mungkin masih selamat, karena masa itu kami masih belum terlalu akrab serta saya juga kala itu siswa berprestasi yang tidak memiliki banyak masalah. Setelah kami duduk pada tingkatan berikutnya Rino mulai berpikir untuk menjadikan saya alat untuk mendapatkan nilai bagus di kelas.

Terkadang bagi saya tidak jadi masalah akan hal itu, namun Rino juga membuat sebuah aturan buruk dan konyol yang mesti kami ikuti. Setiap kali jam istirahat, kami harus jajan bersama dan semua orang harus mengeluarkan uangnya kecuali dia. Suatu hari ketika kami duduk dikelas dua, saya berencana membeli mainan tamia (mobil mainan dengan dinamo di dalamnya) untuk membeli itu saya harus menyimpan sebagian uang jajan saya. Beberapa kali saya menghindari mereka ketika jam istirahat, lalu pergi diam-diam dan jajan sendiri seadanya agar uang jajan saya sebagian bisa ditabung. Tapi akhirnya Rino tahu akan hal itu, saat istirahat saya ke toilet pintu toilet di kunci dari luar oleh Rino karena saat itu saya melihat Rino sedang mengikuti saya. Lalu akhirnya saya baru bisa keluar setelah satu mata pelajaran habis itu pun karena ada kakak kelas yang akan menggunakan toilet. Namun hal yang terjadi pada saya tidak hanya terjadi pada saya saja, semua berlaku untuk teman yang menyembunyikan uang jajannya dan tidak menjajaninya. Rino dan teman-teman tidak secara terang-terangan mengejek dan membully perilaku kemayu saya pada massa itu. Pada masa SD, saya tidak berjalan layaknya model wanita di atas cat walk. Prilaku yang menonjol hanya saya terlalu penakut, lembut, suara cempreng hingga sekarang dan ketika masuk sekolah kegiatan suka berjoget saya mulai berkurang karena takut di bully. Itu lah tanda-tanda yang nampak jika orang lain ingin berpikir pada masa itu bahwa saya menyukai pria atau dengan kata mereka saya adalah banci.

           Hingga suatu hari saat saya duduk di bangku kelas empat SD, Rino dan teman-teman mencoba menguji untuk pertama kali saya berkelahi. Saat saya sedang mengerjakan tugas dikelas, tiba-tiba Nadi menghampiri saya dan berkata kalau Raffa menangis karena dihajar teman sekelasnya.

"kala, ayo cepat! adikmu Raffa dipukuli oleh Arya dan teman-temannya dikelas. sekarang Raffa sedang menangis." Nadi menarik saya keluar dari meja.

Saya merasa tidak percaya saat itu, karena dirumah Raffa selalu saja membuat ulah dan nakal terkadang membantah apa yang disuruh mama ataupun saya. "tunggu sebentar, ini masih ada yang harus saya kerjakan. Bentar lagi bu Rika masuk dan saya belum selesai." saya mencoba menghindari masalah hari itu, tapi Nadi seakan-akan begitu serius dan memaksa saya ke kelas Raffa yang hanya berbatasan tembok saja.

      Entah apa yang aku pikirkan selain yang kuingat cemas saat itu melihat Raffa menundukkan kepalanya di atas meja di sudut bangku paling depan dengan teman-temannya yang mencoba menutupi Raffa. Seketika saya menuju ke arah Arya, teman Raffa yang sedang di pegangi oleh Rino agar tidak berlari kabur. Rino memanggil saya yang berdiri di depan pintu mencari Arya, saya langsung mendekati mereka yang berada di pojok kelas saat itu. Hanya bertanya mengapa membuat Raffa menangis, tanpa mendengar jawaban Arya saya langsung mendorong kepala Arya ketembok disampingnya lalu menariknya kembali dan mendorong kembali kapalnya keatas meja. Seketika anak siswi kelas mereka berteriak, Arya menangis dan guru-guru datang dari ruang kantor kepala sekolah.

Lalu saya di bawah keruang kantor untuk di introgasi oleh beberapa guru dan beruntungnya saya adalah murid yang terkenal tidak mempunyai prilaku buruk. Saya jelaskan masalahnya kepada wali kelas Raffa dan saya saat itu dibantu oleh wali kelas saya. Setelah mendengar penjelasan itu Raffa dan Arya di panggil ke kantor dan kami di suruh saling bermaafan tanpa harus memanggil orang tua kami. Hal yang tidak saya ingat sampai saat ini adalah apakah orang tua saya tahu kejadian itu atau tidak. Selain wali kelas saya yang tinggal satu kompleks dengan kami, Raffa juga memiliki bekas memar di wajahnya karena teman-temanya. Hal itu terkadangan masih sering menjadi pikiran dan sesuatu yang mengganjal bagi saya. Sudah begitu lama kejadian itu, keluarga tidak pernah mengungkit hal itu kecuali aku dan teman-teman semasa SD yang terkadang mengingatnya.

      Pertama kali saya berkelahi, tapi tidak ada satu pun luka pada saya karena saya sedang menghajar adik kelas. Hingga pada suatu hari saat saya dan teman-teman bermain di lapangan sekolah, salah satu sepatu saya lepas saat berlari. Tapi yang konyolnya, ada anak sekolah lain yang memainkan sepatu saya dan melemparnya ke atas pohon di samping sekolah.



    Saya gambarkan dulu bagaimana sekolah saya saat itu.

Di kompleks sekolah saya terdapat tiga nomor sekolah, yaitu SD 35, 42 dan 48 yang setiap nomor sekolah ada kepala sekolah masing-masing yang memimpinya. Sedangkan SD 42 dan sekolah saya saling berhadapan dan harus berbagi lapangan bersama saat jam istirahat datang. Pada hari itu, Rio melihat sepatu saya lepas dan ditendangnya sepatu saya itu kearah samping sekolah saat saya akan mengambil sepatu itu. Saat itu saya merasa aneh dan kesal, saya tidak kenal dan tahu dengan Rio maka saya berpikir dia tidak sengaja melakukannya. Ketika saya mendekati sepatu saya kembali, Rio juga ikut berlari menuju sepatu itu dan setelah sampai lebih dulu Rio melemparkannya keatas pohon. Saya marah dan mendorongnya serta menyuruhnya untuk mengambil sepatu itu, tapi dia malah menantang saya untuk berkelahi.

Saya berteriak kepadanya lalu mendorongnya, "sialan, cepat ambil sepatu saya!" Rio terjatuh lalu dengan santai menjawab, "kenapa kamu menyuruh saya mengambilnya? ambil sendiri, kalau tidak suka aku kita berkelahi."

Pada saat itu Rino tiba-tiba mendekat dan menambah panas diri saya, Rino berkata, "Hajar saja Kal, orang dia juga yang mulai duluan. kenapa kamu harus takut." teman-teman yang lain mengolok-olok keadaan saat itu.

Kami pun berkelahi di samping sekolah itu sampai akhirnya kami berhenti dan Rio akhirnya mengambilkan sepatu saya. Kejadian saat itu kami tidak melaporkan kepada guru masing masing karena takut memiliki masalah dengan pendidikan kami. Hari itu saya tidak memperhatikan apapun, kecuali tubuh wajah Rio yang memerah dan begitupun saya akibat perkelahian itu. Selain itu, perkelahian itu dapat berhenti karena Rino memisahkan kami yang saat itu saya sudah cukup lusuh dan kotor.

"sudah kal, dia sudah berhenti." ucap Rino lalu dia mendekati Rio dan menyuruhnya mengambil sepatu saya. Untungnya hari itu saya sedang memakai baju olahraga, jadi baju olahraga saya yang kotor langsung saya ganti dengan seragam sekolah.

Hingga akhirnya, pada kejadian tauran antar kompleks SD kami dengan kompleks SD di pasar, saya baru tahu kalau Rio adalah teman Rino satu kampung. Saya akhirnya mengerti bagaimana Rino membuat saya berada dalam masalah yang cukup banyak. Tauran yang kalian banyangkan itu tidak semengerikan itu. Tauran itu hanyalah beberapa siswa kelas lima saja yang saat itu di pimpin Awang dari SD 48 dan Rino serta beberapa orang yang ikut pergi dengan alasan kerja bakti dimana saya dan Rio ikut di dalam masalah itu.

       Pelatihan prajurit alah Rino dan teman-teman tidak berhenti disitu, karena pada suatu hari aku, Rino, Nadi dan Ardan bermain ke Balong (sebuah kolam bekas galian untuk pembuatan batu bata)  yang berada di kampung mereka dan jarak kampung itu dari rumah ku cukup jauh. Setiap kali ada Rino pasti ada masalah yang muncul disana. Saat asyik berenang, seseorang lewat sambil berteriak kearah kami saat itu.

“Woyy, pada main sama banci po!” suara dari atas Balong itu ketika itu aku tidak mendengar, hanya  saja Nadi yang mendengar karena dia berada di pinggiran Balong.

Aku memang sering bermain jauh dari rumah karena berpikir aku harus mulai jadi laki-laki seperti apa yang diharapkan semua orang. Ketika kami selesai bermain dan akan ke rumah Nadi untuk membersihkan tubuh kami yang cokelat karena air lumpur itu. Tidak jauh dari tempat itu dijalan kami bertemu Herman kakak kelas kami yang duduk di kelas enam dan jarak usia kami mungkin tiga tahun.

Saat itu Herman mengejek saya dengan panggilan banci, "sudah selesai mandi sama bancinya Nad?" ucapan Herman itu mengganggu setiap orang diantara kami.

Namun karena saya takut dan ingin menghindari masalah saya dan teman-teman terus berjalan. Sambil berjalan Nadi bercerita kalau tadi di Balong juga ada yang meneriaki kita. Berulang kali Herman mencoba mencari masalah dan aku tidak hiraukan, tapi dia malah mengejek saudara perempuan ku yang entah dia sendiri kenal atau tidak dengan saudara ku itu.

Herma berkata saat itu, "ayuk mu cantik juga Kal, kata teman ku paha ayuk mu putih dan bibirnya juga enak." dengan tertawa keras Herman yang saat itu bersama satu temannya mentertawakan perkataan itu.

Seketika aku berhenti, Herman merasa puas melihat hal itu dan menambah panjang kalimat-kalimat nya. Dalam keadaan itu Rino menambah panas emosi ku dan tidak hanya Rino, teman-teman yang lain juga mendorongku untuk menghajar Herman. “Hajar saja, dia sudah keterlaluan Kal, nanti kami bantu.” ucap Nadi yang mungkin merasa malu karena dibilang bermain dengan banci.

Hal ini lah yang sering terjadi pada ku sewaktu SD. Karena emosi aku berlari kearah Herman sambil berteriak, aku langsung memukulinya secara berutal tanpa berpikir hal apapun. Seketika dalam perkelahian itu aku menangis, mungkin karena kepala ku sakit akibat pukulan dari tangan Herman yang cukup besar. Tapi sambil menangis itu aku terus memukul Herman hingga dia jatuh ketanah dan kami benar-benar sudah memiliki luka masing-masing. Tiba-tiba seorang paman lewat yang akan pergi ke kebun, dia memisahkan kami dan memarahi kami serta menyuruh kami bubar. Perkelahian itu pun berhenti, kami pulang dan paman itu tetap berdiri disana sampai kami akhirnya pulang dan menjauhi tempat itu. Karena tubuhku luka dan kotor, aku takut untuk pulang saat itu dan memilih mampir kerumah Nadi sampai aku siap untuk pulang. Di rumah Nadi kami dimarahi oleh orang tua Nadi, saya hanya terdiam lalu kami kebelakang untuk membersihkan badan kami setelah itu menjelang sore saya pamit untuk pulang.

Dengan baju penuh tanah dan muka memerah akibat perkelahian itu, sampai dirumah saya langsung mengambil handup yang terjemur di halaman rumah dan langsung ke kamar mandi. Saat itu mama belum pulang dari bekerja dimana dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan ayah pun belum pulang, hanya ada Raffa dan saudara perempuan ku saja yang tahu aku pulang. Setelah membersihkan tubuhku, aku pergi ke kamar untuk tidur dan menunggu orang tua ku pulang saat itu. Makan malam tiba, kami duduk di meja makan lalu sempat ayah dan mama menyindir apa yang terjadi pada ku dan mengingatkan anak-anaknya untuk tidak membuat masalah.

"hari ini cukup memelahkan, jadi jangan sampai kali membuat masalah yang begitu besar. Kala! jaga emosi mu dan jangan sampai kamu menyakiti adikmu lagi." begitulah ayah mengingatkan ku, dia berpikir aku mungkin berkelahi dengan Raffa hari itu. Untuk menghindari obrolan yang panjang saya hanya meng-iyakan apa yang dikata ayah malam itu.

Malam itu wajah keduanya sangat tidak bersemangat, mama yang mencoba menghabiskan makannya segera meninggalkan meja makan. Hari itu aku berpikir kedua orang tua ku sedang memiliki cukup banyak masalah, lalu ketika mama meninggalkan meja ayah hanya bertanya seadanya tentang wajah ku yang memar lalu aku mencoba mengarang cerita. Saya lupa, semenjak perkerlahian keberapa aku mulai kembali menjadi anak yang patuh, baik dan penurut. Karena untuk mendapatkan pengakuan dan agar tidak dijauhi dari kelompok, aku melakukan semua hal itu untuk bertahan dalam sosial ku. Tapi rasanya sudah cukup terlambat, karena begitu pedulinya aku dengan pengakuan Rino dan teman-teman perlahan nilai prestasi ku di kelas turun. Perkelahian dengan Herman pun adalah perkelahian ku dengan pria yang terakhir aku lakukan dalam hidupku. Aku mencoba menghindari masalah, mencoba kembali menjadi anak baik karena aku berpikir lingkungan ku sudah tidak mencurigaiku lagi terlebih teman-teman ku.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts